Tantangan Masa Depan LNG Indonesia

Tantangan Masa Depan LNG Indonesia

Oleh : Sampe L. Purba

Dalam satu setengah tahun terakhir harga minyak mentah dunia telah turun hampir 400%, dari sebelumnya pada kisaran $ 110/ barrel ke level di bawah $ 30 an. Kontrak kontrak LNG jangka panjang Indonesia saat ini – yang formulanya mengikuti harga minyak mentah ke pasar tradisional Jepang akan berakhir di tahun 2020. Kontrak tersebut ditandatangani tahun 1973 dan 1981 yang lalu, ketika Indonesia memiliki posisi dominan di pasar LNG. Pemain utama saat ini di pasar tradisional regional (Jepang, Korea, Taiwan, China) adalah Australia, Qatar, Malaysia, Nigeria, Rusia bagian Timur dan Trinidad – Tobago. LNG Indonesia dari Tangguh, Masela, kawasan Kalimantan (ENI, Chevron dan Mahakam), akan mencoba masuk bersaing mengisi kekosongan tersebut.

Deregulasi kelistrikan di Jepang mengharuskan persaingan dan efisiensi. Termasuk di dalamnya memisahkan (unbundling) Pembangkit dari Transmisi. Ada juga komitmen bauran energi mengurangi LNG yang saat ini sekitar 46 % menjadi 27% di tahun 2030, untuk digantikan energi terbarukan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, dan kecenderungan Negara tersebut menggunakan batu bara, serta membawa LNG equitynya dari perusahaannya di luar negeri, membuat pasarnya tidak prospektif. Beberapa kontrak LNG jangka panjangpun diindikasikan untuk dikurangi volumenya. Sedangkan di pasar Korea dan Taiwan, Indonesia belum banyak berpengalaman.

Perkembangan teknologi, ketersediaan kapal, storage serta terminal regasifikasi LNG yang meningkat, dan masuknya Amerika Serikat ke pasar ekspor mengakibatkan liquidnya pasar LNG dunia. Pasar LNG saat ini cenderung bersifat spot. Banyak pembeli LNG bukan pembeli akhir (end user), melainkan pedagang (trader) yang memanfaatkan mekanisme perbedaan harga, waktu delivery dan destinasi untuk mendapatkan keuntungan arbitrage. Pada hal untuk pengembangan lapangan gas agar investor mau FID (Financial Investment Decision), kepastian penyerapan pembelian jangka panjang merupakan keniscayaan.

LNG Indonesia yang baru berasal dari laut dalam, dengan biaya produksi yang lebih mahal, serta ada persaingan antara produser LNG. Ketatnya persaingan akan terefleksi dalam penawaran commercial terms. Utamanya adalah formula harga dengan slope/ koefisien yang lebih rendah, komitmen volume pengambilan, metode pengangkutan dan destinasi yang lebih fleksibel, serta price review clause yang lebih longgar. Kurangnya fleksibilitas komersial dapat membuat tidak kompetitifnya LNG Indonesia di pasar ekspor.

Bagaimana dengan peluang agar LNG Indonesia lebih banyak dioptimalkan di dalam negeri ?

Dalam tahun 2015 misalnya, pasar domestik hanya mampu menyerap sekitar 39 kargo atau 61% dari yang dialokasikan oleh Pemerintah, sehingga sisanya terpaksa diekspor di pasar spot. Selain karena perlambatan ekonomi nasional, mahalnya infrastruktur turut berkontribusi. Sebagai contoh, LNG Tangguh yang landed pricenya sekitar $ 6 – $ 7 di Arun Aceh masih terbebani sekitar $7 lagi untuk biaya terminal, biaya tol pipa transmisi, niaga, dan distribusi hingga tiba di kawasan industri Medan. Hal ini adalah karena infrastruktur terminal dan pipa transmisi yang dibangun afiliasi Pertamina, maupun biaya distribusi yang dibebankan oleh PT. PGN lebih didasarkan pada perhitungan pengembalian investasi dari pengguna eksisting. Bukan berdasarkan kemampuan teknis utilisasi dan kapasitas infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Hal yang relatif sama terjadi untuk pemanfaatan di pulau Jawa, terutama yang melalui terminal regasifikasi FSRU Lampung. Adapun FSRU Muara Karang relatif lebih tinggi utilisasinya.

  1. PLN adalah anchor dan harapan utama sebagai pengguna LNG. Namun kenyataannya tingkat serapan PLN masih rendah. Dalam berbagai Pembangkit, kebijakan internal di PLN lebih mengutamakan uap, batu bara dan bahan bakar minyak (yang menjadi lebih murah dari gas pipa dan LNG pada rezim harga minyak yang rendah) sebagai bahan bakar. LNG lebih merupakan cadangan jaga-jaga pada saat beban puncak (peaker). Sementara itu, dalam rencana penyediaan listrik melalui pembangkit listrik swasta (Independen Power Producers – IPP) sekitar 25.000 MW, PT PLN membuat aturan yang kurang mendukung pemanfaatan LNG domestik. Persyaratan tender IPP antara lain mewajibkan paket supply LNG selama 10 tahun (dari impor atau domestik) , beserta dengan terminal regasifikasi, storage dan jetty ke PLN.

PT PLN yang memegang status monopoli kelistrikan, seyogianya mengemban konsekuensi dan tanggung jawab lebih dari sekedar mencari laba korporasi dengan memprioritaskan harga energi termurah yang bersifat jangka pendek. Sustainabilitas, pengembangan lapangan migas yang bersifat jangka panjang, dan keterpaduan dengan upaya menggeliatkan ekonomi nasional harus juga masuk dalam perhatian utama.

Untuk menciptakan monetisasi demand domestik lainnya diperlukan setidaknya dua hal, yaitu pertama keterpaduan pada lintas Kementerian untuk membangun infrastruktur dan mendorong industri hilir seperti pupuk, petrokimia dan turunannya seperti bahan aromatik, olefin dan plastik. Kedua, untuk kawasan Indonesia bagian Tengah dan Timur, agar diusahakan ada LNG hub yang dapat didarati kapal kecil atau dalam bentuk CNG (compacted Natural Gas). Sementara itu, untuk menyiasati pasar yang ketat, perlu kewenangan pemasaran LNG bersifat tunggal di bawah Pertamina agar produksi domestik tidak saling bersaing tetapi menjadi satu portofolio LNG Indonesia.

 

Jakarta, Januari 2016

 

Kebijakan dan Strategi Gas Nasional

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kebijakan-dan-strategi-manajemen-gas-nasional

 

Kebijakan dan Strategi Manajemen Gas Nasional

Indonesia pernah menjadi salah satu pemain utama pasar gas di kancah global. Akan tetapi situasinya kini sudah berubah. Bagaimana pemerintahan Jokowi membenahi tata kelola industri gas, akan sangat menentukan posisi Indonesia ke depan.
Oleh : Sampe L. Purba
SATUHARAPAN.COM – Gas sebagai hasil ekstraksi sumber daya alam memiliki tiga makna strategis, yaitu sebagai sumber energi yang dapat menggerakkan perekonomian nasional, sumber keuangan negara, modalitas daya tawar (bargain position) dalam kancah diplomasi energi internasional. Ketiga tujuan tersebut tidak selamanya sejalan seiring, bahkan sering saling bertolak belakang.
Misalnya, untuk tujuan menggerakkan perekonomian (engine – stimulan – lokomotif), akan menghendaki gas yang murah, demi menyediakan gas baik sebagai bahan baku industri, atau bahan energi bahan bakar yang digunakan industri. Selanjutnya diharapkan multiplier effect akan tercipta, kalau industri penggunanya dapat menyerap lapangan kerja yang lebih luas, mendorong industri turunan substitusi impor, dan beroperasi efisien untuk menumbuhkan pendapatan yang merupakan sumber pajak penghasilan.
Sebagai sumber keuangan negara, revenue (penghasilan) dari gas merupakan komponen langsung sebagai sumber penerimaan negara di APBN. Pada titik ini, sering preferensi jangka pendek Kementerian Keuangan untuk mendapatkan hasil penjualan gas setinggi mungkin. Dalam situasi di mana harga minyak rendah (pada kisaran $50/ barel turun separuh dari sewindu yang lalu) dan harga gas juga menyesuaikan, akan terjadi paradoks. Minyak dan gas akan didorong eksploitasi sebanyak mungkin untuk mendapatkan volume yang kiranya cukup menambal kompensasi turunnya harga.
Indonesia telah lama menggunakan gas sebagai alat diplomasi energi di kancah Internasional. Pada tahun 1980an ketergantungan Jepang sangat tinggi terhadap LNG Indonesia. Pemerintah Presiden Soeharto menggunakan diplomasi tersebut, untuk menarik modal Jepang berinvestasi pada industri strategis seperti baja, infrastruktur dan pupuk. Ketergantungan Singapura dan Malaysia ke sumber gas dari Indonesia melalui pipa bawah laut (West Natuna Pipeline System) pada tahun 1990an dan yang diimpikan terintegrasi dengan Trans Asia Pipeline, membuat pendulum politik dan ekonomi kabinet Orde Baru merupakan salah satu kiblat bagi para Pemimpin di kawasan Asia Tenggara.
Keadaan saat ini sudah berubah. Banyak Negara seperti Qatar, Afrika Barat dan Australia telah merupakan emerging forces dan juga ditambah likuiditas pasar LNG dunia. Untuk menjaga posisinya sebagai market player, Indonesia perlu mempertahankan kehadirannya. Namun, sering hal ini merupakan perdebatan elit yang ironis. Atas nama nasionalisme ekonomi, sentimen anti pasar sering ditiupkan untuk menghalangi ekspor.
Sementara di sisi lain, tidak dipersiapkan infrastruktur dan kemampuan yang handal (affordability and sustainability) untuk menumbuhkan demand domestik. Ironi yang kedua adalah, ketika untuk proyek kelistrikan (sekitar 27% dari program kelistrikan 35.000 MW nya pak JKW – JK, menggunakan gas sebagai energi pembangkit listrik), baik PT. PLN maupun Pertamina meminta dibuka keran impor LNG, penentangan juga datang, karena dianggap akan mematikan potensi pasar domestik. Maju kena mundur kena. Mengekspor dianggap tidak nasionalis, mengimpor pun dianggap anti nasionalisme.
Berbeda dari komoditas umum yang mengikuti hukum pasar, gas berada pada zonasi pasar persaingan tidak sempurna. Ini adalah industri yang highly regulated. Produser gas adalah para Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas, yang beroperasi dibawah koordinasi dan manajemen SKKMIGAS. Kebijakan alokasi, harga dan peruntukan gas merupakan kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Adapun pemain infrastruktur pipa transmisi, distribusi atau terminal LNG dan terminal regasifikasi berada di bawah Pertamina dan afiliasinya, maupun PGN dan afiliasinya. Sementara itu, pembeli utama gas Indonesia adalah PT PLN, dan Pupuk Indonesia. Pengendali Korporasi dan Pemegang saham utama pada seluruh mata rantai tersebut adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, ditambah dengan BPHHilir yang mengatur regionalisasi dan tarif penggunaan akses gas pipa. Adapun pengguna gas lainnya, seperti petrokimia, industri dasar dan aneka industri berada di bawah pembinaan dan supervisi Kementerian Perindustrian.
Permasalahan gas domestik saat ini, meliputi harga yang dikeluhkan sangat tinggi (affordability), dan volume tidak tersedia (availability), dan akses minim (accessibility), yang mengakibatkan banyak lapangan gas di pedalaman tidak dapat dikembangkan (stranded), yang pada akhirnya mengakibatkan krisis gas maupun kelistrikan (seperti di beberapa bagian Sumatera dan Kalimantan) yang merupakan gudangnya lapangan gas.
Mengurai permasalahan gas di Indonesia, meliputi lima isu strategis, yaitu a. masalah pasokan (supply), b. kemampuan membeli (demand), c. infrastruktur transmisi dan distribusi, d. harga dan e. regulasi. Sebagian terbesar dari ladang gas Penghasil Gas Utama di Kalimantan Timur maupun Sumatera dan Laut Natuna akan habis Kontraknya dalam 5 tahun yang akan datang. Tanpa ada kepastian lebih awal akan pengelola maupun bentuk kerja samanya, akan mempengaruhi keputusan investasi maupun portofolio management para Kontraktor hulu migas.
Dari aspek pengguna (demand), Indonesia belum memiliki basis yang kuat, baik kemampuan penyerapan yang stabil, dan kemampuan membayar sesuai keekonomian lapangan. Komposisi pengguna gas domestik sekitar 20% adalah untuk kelistrikan, pupuk dan petrokimia 11%, industri 18 % dan sisanya untuk rumah tangga, transportasi dan own-use operasi di lapangan.
Pipa transmisi ada yang dibangun oleh produsen hulu (dedicated hulu), hanya untuk pengguna tertentu (dedicated hilir), dan dapat digunakan bersama (open access). Mengingat ketergantungan produsen gas kepada pipa transmisi sangat tinggi (tanpa pipa tersebut gas tidak dapat mencapai konsumen), maka peran pemilik pipa ini menjadi sangat penting. Karena itu, konsep memisahkan (undbundling) shipper dengan transporter perlu diawasi oleh KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha) menjadi krusial untuk memastikan fairness ruang/ kapasitas dan harga bagi produsen gas, transporter, pembeli dan pengguna akhir gas. Selain itu, seyogianya para pengelola ruas pipa yang oligopolis tersebut, diberi tanggung jawab untuk membangun ruas pipa transmisi menembus ke daerah yang stranded
Gas untuk kelistrikan maupun pabrik pupuk dan petrokimia pada umumnya langsung dari produsen gas ke pengguna. Adapun untuk industri pembelinya melalui Pemegang Izin Usaha Niaga Gas (trader). Formula gas bervariasi yaitu ada dengan harga tetap, harga dengan eskalasi, dikaitkan dengan harga produk, dan dikaitkan dengan harga minyak.
Tata kelola gas memerlukan aspek regulasi yang ramah tetapi tegas, untuk menciptakan tumbuhnya kompetisi yang sehat, melindungi infant industry, mencegah terjadinya perburuan rente serta memberikan perlindungan kepada pembuat kebijakan, implementator dan korporasi untuk terbebas dari kriminalisasi kebijakan yang didasarkan pada aturan, dinamika pasar dan akuntabilitas.
Sinergitas kelembagaan, penyesuaian target dan Key Performance Indicator yang harus mengacu ke program Nawacita pemerintahan pak Jokowi-JK di bidang Energi dan Ekonomi, serta kesepahaman para auditor negara dan aparat penegak hukum, untuk tidak masuk mempertanyakan wilayah korporasi yang mengimplementasikan kebijakan Pemerintah, merupakan faktor faktor yang absen selama ini dalam pengambilan strategi pemanfaatan gas. Semoga bangsa ini berubah. Untuk Indonesia yang lebih baik.
Terbit di SatuHarapan 8 September 2016
Penulis adalah Praktisi Energi Global – Alumni Program Pendidikan Reguler Lemhannas RI

Tiga Menyongsong Takdir Perburuan sejati Appangaltup

Tiga Menyongsong Takdir – Perburuan sejati Appangaltup
Oleh : Sampe L. Purba
Appangaltup, demikian namanya. Masih muda tetapi sudah punya reputasi kaliber penggerak massa. Jabatan resminya Ketua Forum Paguyuban Majelis Parsahutaon DeKai, afiliasi longgar cair yang disatukan secara temporer oleh common denominator kesamaan isu. Dia mendapat amanah mencari pengemudi pesawat khusus yang tepat, karena anggotanya akan menempuh perjalanan jauh. Ada angin puting beliung, hujan lebat dan kelebat kelam. Belum lagi sambaran halilintar dan bayangan naga. Seram. Mereka tidak terlalu mempersoalkan biayanya. Yang penting aman, nyaman dan menggairahkan.
Inilah dialog Appangaltup (Ap) dengan Biro Pelayanan Travel (Br):
Ap: Kami mencari pilot dan kopilot yg tangkas, cerdas, tampan dan asyik. Dan paling penting, sepaguyuban. Untuk membawa jamaah rombongan ini dengan nyaman ke seberang.
Br: Yang komplit sempurna mah tidak ada. Manusia itu serba ada kekurangan. Bapak nyari pilot atau artis sih ?
Ap: Tapi kami mau pengemudi pesawat yang tangkas, muda, tampan, cantik, sopan, pintar merangkai kata bak puisi narasi dongeng kisah seribu satu malam dari Persia. Juga latar belakang trah garis keturunan sekelas priyayi. Kaya, sepaguyuban, satortoran dan segolongan dengan kami.
Br: Begini saja, Pak Appangaltup. Kami kebetulan punya tiga kandidat tim yang handal. Tim Satu. Kombinasi anak muda yang tampan, cerdas, memikat. Kopilotnya cantik, ramah, sepaguyuban dengan Bapak. Mereka telah teruji mumpuni di bidang masing-masing. Anak muda ini selalu juara dalam kelas olah kanuragan dan berburu. Berasal dari keluarga terhormat dan mewarisi darah tradisi Kesatria. Jawara dalam olah kebatinan, cerdas pula ilmu pengetahuan umum.
Ap: Bisa kagak bawa Pesawat menembus badai?
Br: Itu sih belum teruji. Tapi mereka menjanjikan penerbangan yang nyaman. Tangguh dalam segala cuaca. Siap menampung aspirasi. Sebagai anak muda, menjanjikan terobosan inovatif dengan stamina prima. Layak dicoba.
Ap: Kok coba-coba. Ini nyawa dan masa depan pertaruhannya, Bro. Kalau Tim dua?
Br: Ini kombinasi hebat juga. Kakek sang pilot termasuk peletak dasar organisasi Paguyuban Nusantara yang nasionalis. Anak muda paruh baya. Matang secara emosional dan spritual. Sopan, tampan, dan piawai merangkai kata bak pujangga prosa ajaib. Kopilotnya pun oke punya. Saudagar kaya-raya, walau masih muda. Mewarisi takhta dan bakat dagang tradisi keluarga.

Ap: Boleh juga nih. Kalau bawa pesawat bagaimana?
Br: Itu sih belum teruji. Kemarin itu sang pilot menerbangkan pesawat. Tapi mungkin karena sangat hati-hati, konservatif atau takut menerobos badai dan jebakan halilintar, dia di-grounded dan digantikan orang lain. Wallahu alam. Matang dan berempati dengan kemiskinan. Cerdas menyampaikan gagasan. Ini tim hebat. Beri mereka kesempatan
Ap: Janganlah pertaruhkan masa depan paguyuban berhenti pada gagasan. Kalau tim tiga bagaimana?
Br: Ini mah rada unik. Kombinasi pilot yang handal, reliable dan tangkas bermanuver menembus badai, menerabas tak terduga kesana-kemari. Out of the box pokoknya. Tegas tegak lurus dalam implementasi. Kopilotnya tak kalah hebat pula. Seorang manajer internal yang pas. Sepaguyuban juga dengan Bapak. Dia memberi panggung kepada sang pilot. Meninggikan seranting, mendahulukan selangkah. Menghindari matahari kembar. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Pasangan ini telah teruji berhasil melalui jebakan ganasnya maut dan rayuan halilintar. Sayang kekurangannya banyak pula.
Ap: Tak ada gading yang tak retak, Bro. Tapi handal kan? Emang kurangnya dimana?
Br: Sang pilot ini mulutnya terlalu tajam. Meledak-ledak. Terkesan arogan. Ora njawani. Tapi hatinya lembut. Masyarakat bawah diperhatikan betul. Mottonya sederhana, manusiakan rakyat. Kenyangkan perutnya, isi dompetnya, bekali akhlaknya.
Ap: Caranya?
Br: Dia mengoptimalkan resources yang ada. Para juragan pengusaha kaya difasilitasi berbisnis. Tetapi sebagian program orang kaya tersebut harus berkontribusi langsung dengan proyek-proyek rakyat, seperti perbaikan jalan, gorong-gorong, pasar rakyat, sekolahan, balai pengobatan, rumah susun sederhana dan lain-lain.
Ap: Lha.. kalau begitu, bukannya orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin tergantung pada belas kasihan?
Br: Itulah makanya, programnya termasuk membina akhlak, budi pekerti dan nalar generasi muda. Didorongnya mereka belajar agama, dibantu biaya pendidikannya, ada balai latihan kerja, diperhatikan kesejahteraan guru. Anak-anak yang sudah lulus dimagangkan. Satu kata dengan perbuatan. Harapannya ada mobilitas vertikal mengikis lingkaran setan kemiskinan.
Kita harus merajut persaudaraan dengan mengupayakan secara cerdas dan tulus pemerataan kesejahteraan. Bukan dengan pertentangan kelas, atau utak-atik asal usul. Kita memang ditakdirkan dari sononya berbeda. Bukankah motto kita Bhinneka Tunggal Ika.

Ap: Wow, saya pilih tim mana dong?. Tiga-tiganya bagus. Keren
Br: Ingat! Rombongan sampeyan mencari pilot tokh. Have a safe flight

* Sampe L. Purba adalah pemerhati dinamika sosial politik. – Senayan Post 9 Oktober 2016

Penggusuran versus Penggeseran

Penggusuran versus Penggeseran
Oleh : Sampe L. Purba
Si Tou Timou Tumou Tou – Humanity: a life to bless

Penggusuran dan Penggeseran memiliki beberapa kesamaan, tetapi mengandung nuansa perbedaan yang berjarak. Penggusuran berarti pemindahan paksa. Peristiwa ini dapat terjadi karena oknum yang menduduki/menempati bukan orang yang berhak. Tetapi bisa juga karena ada orang yg tanpa hak modal out-of-law ala cowboy Texas – pajolo gogo, papudi uhum – mengusir paksa secara tidak manusiawi orang orang yang berhak dari tanah, tempat tinggal atau wilayahnya. Ini mirip penyerobotan atau aneksasi.
Penggeseran sejatinya juga adalah sebuah pemindahan. Tetapi itu lebih bermakna penataan, relokasi atau reposisi demi pengefektifan tata ruang atau organisasi dalam mencapai tujuan. Penggeseran Pasukan (Serpas) misalnya. Ini kerap dilakukan Komandan dalam suatu front termasuk pengosongan zona aman untuk merespon konstelasi di lapangan atau mencapai tujuan yang lebih makro.
Hijrah Pasukan Siliwangi dari kantong strategis gerilya tahun 1948 ke Jawa Tengah dalam rangka memenuhi isi perjanjian Renville adalah contohnya. Demikian juga transmigrasi.
Pemda DKI Jakarta di bawah komando Gubernur Ahok juga melakukan relokasi penduduk.
Mereka yang tanpa hak menempati zona hijau, bantaran kali atau emplasemen lahan Pemerintah diminta mengosongkannya. Ada sosialisasi, ada disiapkan pemukiman baru skema sewa bersubsidi terjangkau , lengkap akses fasilitas pendukungnya seperti sarana transportasi, kesehatan, pasar dan sekolahan.
Pemerintah Kota demi pengendalian banjir, kriminalitas, polusi, pengentasan kekumuhan, sekaligus untuk mengangkat harkat martabat masyarakat tertinggal termarginalisasi mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk itu. Ada tenggat waktu.. ada ketegasan. Yang membangkang tak jelas, diultimatum. Buldoser bicara – jika dianggap perlu. Ada law and order. Jer basuki mawa bea.
Pertanyaannya, kenapa ada yang tidak mau dimanusiakan ? Kemungkinan mereka yang sudah dua, tiga, atau empat generasi menempati lokasi kumuh mungkin secara mental telah merasa nyaman sekalipun terancam dan harus melakoni ritual pengungsian saban tahun dari ancaman musim banjir Ciliwung misalnya.
Mereka adalah orang orang yang tidak memiliki modal ekonomi untuk transformasi vertikal ke tingkatan sosial yg lebih baik. Penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup, sambil mewariskan kegetiran itu ke anak cucu cicit buyutnya. Nrimo. Mereka jadi terbiasa dan menganggap normal, jalan hidup atau nasib yg telah tergariskan. Ini yg perlu dibangunkan. Revolusi mental.
Diperlukan kekuatan eksternal yang tulus untuk menarik mereka dari lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty) itu. Untuk memanusiakan mereka, seperti kutipan semboyan Sam Ratulangi di atas. Itulah yang dicoba lakukan Pemerintah Kota di bawah arahan Pak Gubernur Ahok dan supervisi pak Wagub Jarot. Memberi modal, pancing sekaligus mendidik warga untuk taat hukum.
Kita miris, manakala sekelompok kalangan menentang kebijakan itu. Ada yang santun, ada yang satire, ada yang rasis. Tetapi kebanyakan tanpa solusi. Berhenti di retorika. Dan kepalan tinju ke angkasa. Sangar.
Kita perlu berempati dengan orang miskin. Tetapi jangan bersimpati dengan kemiskinan. What we need is poverty eradication program. Pengentasan kemiskinan. Bukan memelihara kemiskinan, membajak memanen popularitas di atas penderitaannya, atau mem-blow up melankolisme mereka demi posisi tawar atau untuk meraih jabatan publik yang lebih baik.
DKI sudah masuk musim kontestasi dan kontastasi PilKada. Kita berharap para Petarung dan Timses masing masing akan cerdas bijaksana menawarkan konsep, program dan terobosan inovatif terukur yang membumi, terarah dan realistis. Memberi solusi terhadap banjir, kemacetan, kekumuhan dan penyakit masyarakat lainnya.
Jakarta layak mendapatkan yang terbaik. Membangun Jakarta dengan segala nuansa keberagaman dan keunikannya memerlukan Komandan tegas beradrenalin yang piawai menembus kebuntuan di lapangan serta mampu mengurai keruwetan labirin birokrasi. Termasuk yang memiliki konsep dan keberanian melakukan penggeseran dan relokasi yang humanis.
A Leader. A man of action. Tidak cukup hanya modal senyum tebar pesona, retorika dangkal simbolis atau untaian kata kata puitis bijak terkesan religius. Warga butuh yang substantif. Pemimpin yang dapat menata kota. Bukan sekadar piawai menata kata.

SenayanPost, 2 Oktober 2016

Geliat Kota Lhok Seumawe di tengah kelesuan harga minyak dunia

Oleh : Sampe L. Purba

LHOKSEUMAWE (SenayanPost.com) – Dari 27 provinsi zaman Orde Baru, hanya Aceh dan Timor-Timur yang belum saya kunjungi karena alasan keamanan. Harap dimaklum, selama puluhan tahun di benak saya terbentuk gambaran seram mencekam tentang kehidupan masyarakat di dua daerah itu, khususnya di Aceh.

Itu sebabnya, ketika Jumat (5/8/2016) lalu saya berkesempatan mengunjungi kota Lhokseumawe — mendampingi Kepala BPMA Otoritas Hulu Migas yang dibentuk seiring dengan amanat Undang-undang Pemerintahan Aceh–, dan mendapati kehidupan di sana begitu tentram dan penuh keakraban, seketika itu juga persepsi negatif yang memenuhi pikiran saya sirna.

Lhokseumawe, yang dahulu dikenal sebagai penghasil gas/ LNG terbesar di Asia, tetap merupakan kota yang ramah. Kehidupan sosial, ekonomi dan politik menggeliat sampai larut malam, di warung-warung kopi dengan berbagai aroma kelas dunia seperti kopi Gayo, Janto, Ulee Karang, dan seterusnya.

Warung kopi – beberapa dilengkapi free wifi – ibarat mal berfungsi ganda. Sebagai meeting points, pusat lobi politik, birokrasi, diskusi bisnis, temu kangen keluarga atau sekadar cuci mata menyaksikan anak-anak mahasiswi dengan lap top terbuka, berdiskusi sambil menyeruput kopi atau martabak khas berbahan dasar singkong. Persis seperti suasana penduduk Byzantium atau pesisir Laut Tengah menikmati senggangnya.

Beberapa baliho ucapan selamat dari calon kepala daerah yang berbasis partai lokal atau nasional menyiratkan dinamika politik. Sekilas masyarakat tidak terlalu antusias dan juga tidak terlalu apatis dengan politik. Romantika kejayaan masa lalu yang sempat diselingi cekaman pergolakan, tidak membuat masyarakat kehilangan kehangatan pergaulan sosialnya.

Saya dan rombongan antre membeli serapan nasi uduk dengan dua lauk yang dibandrol Rp 20 ribu. Pedagangnya seorang ibu yang sudah senja dan telah “berkarier” dengan gerobak dorongnya selama lebih dari 20 tahun, berhasil mensarjanakan tiga anaknya dan sudah bekerja di swasta dan pemerintahan di Ibu Kota. Ibu itu memilih tetap berdagang, semata-mata demi pelayanan kepada para pelanggan setianya.

Nasi uduk bungkus kami bawa untuk dimakan di warung kopi, di ujung jalan. Amazingly, pemilik warung dengan gembira membersihkan satu meja panjang – nyaman buat kami bersepuluh. Memberikan sendok, lengkap dengan mangkuk cuci tangan, dan masing-masing segelas air putih. Semuanya gratis. Kami hanya memesan dan membayar kopi saja. Contoh teladan pelayanan yang layak ditiru kota lain, misalnya, seperti kawasan Danau Toba jik ingin menjadi destinasi yang ramah.

Pengalaman, Guru Terbaik
Masa keemasan gas sebagai sumber daya alam tidak terbarukan telah berakhir. Kini saatnya upaya eksplorasi dan pengembangan baru di darat maupun di lepas pantai bumi serambi Aceh diperjuangkan serius. Baik terkait dengan penemuan cadangan, pengembangan lapangan, pembangunan infrastruktur maupun penemuan pasar komersial, keberlanjutan dan kredibilitas.

Kilang LNG Arun telah berhenti beroperasi karena ketiadaan pasokan. Pabrik Pupuk Iskandar Muda, pabrik kertas KKA, dan pabrik pupuk AAF lambang kebersamaan ASEAN telah lama megap-megap dan tutup karena hanya mengandalkan sisa sisa (tail) gas dan pasokan LNG dari Papua yang menjadi mahal karena biaya pengapalan, regasifikasi dan penyaluran pipa.

Di tengah kelesuan harga minyak dunia yang membuat gairah eksplorasi gas juga loyo, harus disiasati dengan cerdas. Sambil menunggu geliat eksplorasi dan produksi migas setempat, diperlukan strategi dan upaya yang tepat untuk mencapai titik-balik kejayaan Bumi Serambi Mekah.

Keunggulan geostrategis harus dioptimalkan. Fasilitas tangki penampungan Arun dapat dimanfaatkan sebagai hub untuk refueling kapal-kapal besar jurusan Timur Tengah dan Afrika menuju Jepang, Korea dan Tiongkok dan sebaliknya. Sekitar 60% lalu lintas perdagangan komoditas negara-negara tersebut melalui pantai Timur Aceh.

Protokol lingkungan dunia dalam beberapa tahun ke depan akan melarang dan membatasi penggunaan kapal berbasis bahan bakar minyak/ HSFO dan batu bara. Dalam konteks ini, kawasan Pantai Timur Utara Aceh dapat menjadi bandar alternatif mengimbangi Singapura.

Bercermin dari pengalaman masa lalu, yang terlalu berfokus mengkonversi gas menjadi LNG untuk tujuan ekspor, bahan baku pupuk, dan bahan bakar untuk mendukung industri, sudah saatnya bila ditemukan gas di lapangan-lapangan baru untuk diarahkan ke industri domestik seperti pupuk, petrokimia dan produk turunannya.

Kawasan Ekonomi Khusus yang akan dibangun di Lhokseumawe dengan konsep terpadu antara industri pupuk, petrokimia dan kelistrikan, hendaknya didesain mempermudah bisnis dan bukan untuk memperpanjang mata rantai birokrasi.

Demi efisiensi, kelincahan, kesatuan komando serta kepastian hukum, di masa depan hendaknya Otoritas Migas disatukan di bawah satu organisasi, yang menguasai dari hulu hingga hilir, serta serta tata niaga distribusi. Selain itu, juga dapat menjadi semaian laboratorium percobaan tingkat nasional. Demi Indonesia yang lebih baik. (ZSR)

* Penulis adalah Praktisi Global Gas dan alumni PPRA Lemhannas RI

terbit di Senayan Post 10 Agustus 2016

https://senayanpost.com/bumi-papua-off-road-on-track/

PAPUA BARAT (SenayanPost.com) – Usai kunjungan kerja di Aceh selama tiga hari (5-7/8/2016), saya kembali ke Jakarta hanya untuk transit di bandara, kemudian melanjutkan perjalanan ke Papua. Tugas untuk mengikuti rapat koordinasi pengembangan Kawasan Industri Petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat, menanti. Senin (8/8/2016) sekitar pukul 1 dinihari saya terbang dari Jakarta, dan tiba di Manokwari jam 9 pagi.

Rombongan kami konvoi ke Bintuni dengan kendaraan jeep double gardan. Selepas Kota Manokwari kami menjumpai 4 bangunan megah lima tingkat seperti kampus. Di seberangnya sedang dibangun konstruksi pabrik semen. Rupanya itu adalah dormitory karyawan. Kecuali Satpam yang orang lokal, konon semua pekerja mulai dari tukang rumput, gali selokan, teknisi, ahli hingga manajemen didatangkan satu paket dengan proyek.

Sepanjang jalan, gairah Agustusan di Papua begitu terasa. Umbul-umbul dan anak anak latihan baris berbaris dan tumba Papua. Itulah bentuk kencintaan masyarakat Papua kepada Tanah Air-nya, Indonesia.

Melewati distrik Mamowaren – situs bersejarah pendaratan injil, dan juga bunker Jepang jaman perang – kami saksikan ada banyak kendaraan, yang tertahan hampir 2 jam, termasuk kendaraan yang ditumpangi rombongan kami.

Rupanya penyebab kendaraan tertahan dipicu kecelakaan. Pohon ditebang memalang jalan. Tentara dan polisi terpaksa turun tangan. Untuk mengamankan jalur itu dan melancarkan arus lalu-lintas, dilakukan negosiasi dengan warga yang difasilitasi Satgas Pamrahwan dan kepolisian setempat.

Peristiwa semacam ini disemai metamorfosa mentalitas sebagian rakyat ke materialisme. Mental materialisme terjadi, antara lain, karena masyarakat sudah terlena dengan kucuran dana instan Otsus. Sungguh miris.

Kenyang menyusur jalan hot mix mulus bibir pantai Pasifik yang eksotis, lalu masuk hutan pegunungan ke arah selatan, jalanan terjal licin kualitas off-road. Di jalan, tampak ada beberapa truk logging penopang konsesi HPH tertahan, dan bermalam di jalan berkubang.

Jam 11 malam, kami memasuki hotel. Sinyal HP samar, ditingkahi mati listrik. Esok paginya kami sudah siap rapat, namun molor menjelang siang, sebagian karena ada pegawai pemda yang tertahan banjir. Sementara rombongan lain site visit ke Teluk Bintuni, malamnya dengan rute yang sama, saya dengan pimpinan rombongan kementerian kembali ke Manokwari. Mengejar pesawat pagi karena sudah ditunggu tugas lain di Jakarta. Dear God, be with us. Kami bersyukur, Bupati Petrus Kasihiw yang berpandangan dan berpergaulan luas menyediakan satu mobil pengawalan.

Kunjungan singkat ini menorehkan pesan yang bermakna. Bahwa ada tugas besar yang mendesak diwujudkan: “membangun Papua”. Bukan sekadar membangun di Papua. Terkadang kita gamang dengan ambiguitas sejarah – relativisme absolusitas yang didikte dan pahatkan oleh para pemenang. Termasuk stigmatisasi dan pemahlawanan.

Kekeliruan utama dalam “kutukan sumber daya alam”, adalah karena mengalineasi manusia tanpa capacity building. Penduduk dibungkam dan dimanja dengan kucuran dana. Tidak dipersiapkan, dimentor dan didera dengan mentalitas persaingan. Akibatnya mereka tidak pernah fit and proper untuk jabatan yang menuntut disiplin dan standar profesionalitas. Ini bukan sim salabim instan ala tongkat magic Harry Potter. Perlu Afirmasi kebijakan dan dialektika, bahkan trialektika antara pemodal, pemda dan otoritas sektor pusat.

Kita tidak boleh hanya mengeksploitasi alam dengan ekspor bahan mentah. Kalau begitu apa bedanya kita dengan nenek moyang purba yang hanya bisa berburu dan memetik buah?. Kayu log, batu bara, gas, kelapa sawit, perikanan harus didorong ke hilirisasi pengolahan lanjut yang memberi nilai tambah dan nilai ekonomis yang lebih tinggi. Harus konsisten dalam implementasi. Konsesi batu bara tanpa smelter, HPH tanpa sawmill, gas tanpa pupuk dan petrokimia, perikanan tanpa pengawetan, harus no way! Ciptakan iklim investasi yang kondusif.

Hentikan pemajakan investasi di hulu. Pemajakan investasi adalah ibarat merampok ransum tentara yang sedang berperang. Atau berburu di kebun binatang yang sekaligus menyasar pawangnya. Cukurlah bulu setelah rimbun.

Bangunlah secara sinergis konseptual antar instansi program yang kompatibel secara regional. Pelabuhan laut (shore base) yang layak, penerbangan yang teratur, infrastruktur jalan, jaringan listrik yang memadai, fasilitas publik seperti rumah sakit, perbankan, sekolah dan politeknik. Tidak perlu pula antar pemerintah kabupaten dan kota mempertontonkan egoisme dan lokalisme sempit. Sorong – Manokwari – Jayapura dalam cluster perencanaan regional terpadu bumi Papua adalah bagian utuh dari Indonesia. Itulah visi Nawacita Kemaritiman Sabang – Merauke Jokowi – JK.

Perlu kebijakan komprehensif, terintegrasi dan holistik yang paten!. Juga akselerasi dan determinasi kepemimpinan visioner, disertai afirmasi afektif yang mengedukasi.

Pemerintah tidak perlu pening investasi infrastruktur yang dapat membebani APBN atau mencari tambalannya dengan menerbitkan obligasi. Biar pemegang konsesi yang melakukannya dalam bingkai private public participation. Seperti cara Gubernur Ahok. Kreativitas cerdas dalam koridor aturan.

Harapan kita, Papua tidak hanya dikenal dengan sumber daya alamnya, tetapi juga sumber daya manusianya yang unggul dan berkualitas. SDM yang mengelola SDA secara bijak dan bermartabat. Itulah pembangunan yang on track. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Untuk Indonesia Raya

Penulis adalah Praktisi Profesional Migas/Alumni PPRA Lemhannas RI Angkatan 49.

Terbit di Senayan Post, 14 Agustus 2016

Aspek Geostrategis Kawasan Maritim Natuna

Aspek Geostrategis Kawasan Maritim Natuna
Oleh Sampe L. Purba
Perairan Natuna – sebagai bagian dari kawasan Laut Cina Selatan (LCS) merupakan salah satu garis terluar perbatasan Indonesia yang secara geografis dan politik memiliki dimensi yang sangat strategis. Hal ini dapat didekati dari kaca mata konstelasi keseimbangan kawasan, keamanan dan sumber daya alam. LCS adalah jalur energi dan distribusi komoditas Negara Industri Asia Timur Utara seperti Jepang, Korea dan Tiongkok ke Afrika dan Timur Tengah dan Pasifik Barat. Sekitar 25% komoditas global, sepertiga gas alam cair (LNG) dunia, 80% minyak mentah ke Jepang, dan 40% impor minyak Cina melalui kawasan ini. Kawasan LCS adalah medan pertempuran perebutan hegemoni perdagangan dan politik antara poros Amerika Serikat dengan bendera TPP (Trans Pacific Partnership), serta Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang dikomandani Tiongkok. Indonesia yang sebelumnya ada di RCEP telah menunjukkan minatnya untuk juga bergabung di TPP. Dapat dimengerti, salah satu aspek strategis yang dibidik Pemerintah Presiden Jokowi dalam hal ini adalah untuk mengurangi dominasi Tiongkok dan mencoba melibatkan Amerika Serikat untuk menjaga keseimbangan pusaran ini.
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia merupakan satu kesatuan teritorial yang mempertautkan garis pantai Timur Sumatera dengan pantai Kalimantan Barat dengan kawasan Natuna di dalamnya, dengan menetapkan alur pelayaran internasional – alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Sebagai konsekuensi dari penguasaan wilayah, Indonesia harus dapat menunjukkan kepada dunia, bahwa kita mampu menjamin dan memastikan keamanan jalur lintas laut (sea lane of communication – SLOC), baik dari ancaman teroris dan pembajakan, pencurian sumber kekayaan alam, polusi, penyelundupan barang, narkoba dan orang (illegal drugs and people trafficking).
Fakta bahwa hingga saat ini pengendalian ruang udara – Flight Information Region di atas kepulauan Natuna masih berada pada Malaysia sektor B, dan Singapura Sektor A dan C (Chappy Hakim, 2006), kemampuan logistik, kapal pemburu dan fregat Lantamal IV Tanjung Pinang yang belum memadai, atau dukungan darat, radar dan pesawat terbang skadron TNI pada LanUd Natuna yang hanya tipe C tidak menunjukkan kekuatan yang meyakinkan untuk mampu menegakkan kedaulatan hukum dan keamanan mulai dari kemampuan deteksi, intersepsi dan konfrontasi baik kepada kapal nelayan pencuri ikan, apalagi dengan pasukan Negara lain yang menyatakan klaim kewilayahan.
Sampai saat ini, di beberapa bidang perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) Natuna, Indonesia masih memiliki tumpang tindih dengan Malaysia dan Vietnam. Fakta bahwa Pemerintah Tiongkok menolak putusan Permanent Court of Arbitration di bawah PBB pada bulan Juni 2016 yang lalu, seraya tetap kukuh dengan klaim sepihak nine-dash-line di mana sebagian tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Natuna Bagian Timur yang banyak mengandung gas patut mendapat perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Dari kaca mata geografis Malaysia, kawasan Natuna adalah ibarat tembok pemisah penghalang Semenanjung Malaysia di Barat dengan Sabah Serawak di Timur.
Lebih dari 40 tahun yang lalu (1973) lapangan gas raksasa ditemukan di Natuna Bagian Timur (46 TCF – lebih dari 4 kali cadangan gas di lapangan Abadi – Masela). Tetapi alih-alih dikembangkan, malah kontraktor penemunya (AGIP) mengembalikan ke Pemerintah Indonesia. Sementara dalam kerja sama kemudian dengan Esso – ExxonMobil – sekalipun terms nya sudah sedemikian longgar, termasuk bagi hasil 100% untuk Kontraktor, dan Pemerintah hanya berharap dari pajak, itupun sampai saat ini belum jelas kelanjutannya.
Selain kemungkinan karena hal-hal kewilayahan yang belum clear di atas, penyebab utamanya adalah karena secara teknis, operasional, ekonomi dan komersial sangat sulit untuk mengembangkannya. Lapangan gas Struktur AL mengandung lebih dari 70% CO2, yang teknologi pemisahan, pembuangan maupun injeksinya untuk volume semasif itu belum ada presedennya di muka bumi ini. Pasar yang sangat remote. Sementara jalur pipa bawah laut untuk menyambung ke kawasan natuna barat ( West Natuna Transportation System – WNTS) lebih kurang 500 kilometer. Kita tidak tahu berapa puluh tahun lagi diperlukan baru lapangan gas tersebut dapat dieksploitasi secara komersial. Selain gas, sesungguhnya di kawasan tersebut tepatnya di struktur AP terdapat cadangan minyak 310 juta barel, diperkirakan dapat dieksploitasi segera. Kawasan Natuna juga kaya dengan sumber daya kelautan. Diperkirakan 8% populasi sumber daya hayati ikan dunia ada di sana.
kita harus belajar dari pengalaman hilangnya kedaulatan Indonesia atas wilayah Sipadan – Ligitan dengan Malaysia. Berdasarkan putusan arbitrase International Court of Justice tanggal 17 Desember tahun 2002, kepemilikan atas wilayah sengketa itu ditentukan berdasarkan adanya tiga hal yaitu, a. adanya keingingan dan kehendak (intention and will) untuk bertindak sebagai pemegang kedaulatan, b. ada aktivitas yang berkelanjutan (continued display of actual exercise), c. bagaimana pihak lawan memperlakukan wilayah sengketa tersebut.
Mengelola wilayah perbatasan Natuna, bukan sekedar perhitungan teknis keekonomian. Segeralah eksploitas lapangan minyak, lanjutkan dengan pembangunan kilang mini, sebagai dukungan logistik. Pengembangan lapangan gas di wilayah tersebut agar didesain terpadu, sehingga dapat memberi dukungan optimal terhadap sistem pertahanan perbatasan, baik dari segi logistik, radar, pangkalan maupun sumber daya manusia. Kementerian Koordinator Kemaritiman harus segera mengambil alih komando kebijakannya dan mengesampingkan keekonomian sebagai pertimbangan utama. Ini menyangkut kedaulatan dan integritas wilayah.

Jakarta, Agustus 2016

Penulis
Praktisi Profesional Global Energi – Alumni Lemhannas RI
Terbit di Satu Harapan Group 25 Agst 2016

Partonggo Nautusan

Partonggo Nautusan
Oleh : Sampe L. Purba
Oppu Mangalondut – demikian kakek itu biasa dipanggil – adalah seorang tokoh lintas zaman dari Bius Hariara Jambu Bona – di sekitaran Danau Toba. Pensiunan Asisten Demang, yang melampaui berbagai sejarah bangsa sejak zaman Belanda, Revolusi Kemerdekaan, Orde Lama – Orde Baru hingga era Reformasi. Pada zaman Belanda beliau adalah pemangku adat, pemerintahan dan agama sekaligus dalam kedudukannya sebagai Kapala Nagari – yang merupakan kesatuan otonomi berdasarkan wilayah geneokologis, historis dan geografis pada zaman kolonial.
Pada masa mudanya telah mengembara ke daerah Barus, Gayo, Minang, Deli dan Johor, memperdalam ilmu dan pengalaman – termasuk mengasah olah kanuragan – manandanghon hadatuon dohot undang-undangan. Beliau termasuk Kelompok Parbaringin, suatu tataran eksekutif penasehat Raja dalam Luat Otonomi Kerajaan Batak. Fleksibilitas, hajogion/ kedigdayaan serta interaksi yang luas, membawa beliau sempat menjadi Daidancho (setingkat komandan batalyon) pada zaman Jepang, Perwakilan KNIP di Kresidenan Tapanuli pada masa awal masa Kemerdekaan, hingga Ketua Pembangunan Huria Sabungan pada tahun 60 an. Maka tidak heran – kalau Oppui Ephorus – dalam kunjungan konsolidasi muhibahnya di akhir dekade 80 an, singgah bermalam dan mengadakan evangelisasi dari halaman – antaran na bidang – bekas Onan– leluhur Ompu Mangalondut. Suatu penghormatan historis yang sarat makna.
Saat ini tidak ada lagi jabatan formalnya, maklum sudah sepuh serta anak cucunya telah menyelenggarakan adat raja manggalang mangolu – adat sulang sulang so hariapan (semacam undur diri – madheg mandhito) dari urusan adat. Disiplin hidup yang tinggi – maklum pemegang veteran bintang gerilya – membuat beliau tetap bugar, mengikuti perkembangan kontemporer, serta tetap ditokohkan. Cucunya Mangaraja Mangalondut, cucu panggoaran Sijujung baringinna – Sarjana Nano Fisika Nuklir dan tercatat sebagai associate global academic science – baru baru ini menghadiahinya compact smartphone. Oppu Mangalondut pada usia sesepuh ini masih akrab dengan W.A, twitter, skype atau WeChat, Bahasa sekarang – aptudet – up to date. Pada musim Pilkada misalnya – tidak sedikit TimSes yang berusaha mendaulatnya menjadi Penasehat Paket CaBup si Anu dan Si Polan. Tetapi seperti biasa – beliau menolak dengan halus. Beliau lebih senang menjadi pengayom semua golongan – siharhari na bulut, sihorus na malobihu, parhatian pamonaran, pargantang so ra monggal – yang berdiri di atas semua golongan – ada di mana-mana tetapi tidak kemana-mana.
Sekalipun demikian, apabila Ompu Mangalondut hadir di suatu perhelatan, misalnya mengawali rapat musyawarah kecamatan di balai desa, pesta parheheon naposo bulung, hingga acara tardidi, beliau selalu didaulat untuk memimpin doa. Guru Huria, Voorhanger, Cik Oji atau tuan rumah shohibul bait sekalipun akan membujuk – mangigil – agar beliau yang pimpin doa.Doanya panjang. Mirip perpaduan sastra, tabas, dakwah, jamita, ujar-ujar dan tonggo-tonggo.
Oppung ini lancar dalam maminta gondang, meniup sordam tulila maupun didgeridoo serunai khas kaum aborigin, menabuh gamelan maupun menggesek biola. Komposisi pembuka Als Sprach Zarathustra dari novelis Nietzche adalah salah satu favoritnya. Pernah saya tanya – apakah beliau seorang Sinkretis, Parbaringin atau Guru Zending. Beliau dengan bijak menjelaskan bahwa theologia kita adalah sesuatu yang transeden. Lintas zaman. Narasi dan arti substantif hakekat makrifat suatu doa, adalah kulminasi interpretasi kita yang terbatas, untuk menghadirkan Tuhan yang Tak Terbatas itu. Kita hanya sebatas menduga. Dan kemudian percaya serta mengklaim, bahwa pendekatan dan approach kitalah yang pas dalam mendeskripsi, mengagungkan bahkan “memasung”, Tuhan dalam bingkai iman kita masing masing. Nah lho. Sulit dipahami bukan ?
Banyak di antara kami memandang Oppung ini seorang sakti. Spritualist. Betapa tidak. Beliau dapat dimintai tolong untuk menunda dan mengalihkan hujan, memanggil kawanan kerbau yang hilang, atau menyadarkan anak yang kesurupan – asa mulak tondi tu ruma. Tetapi coba ajak dia diskusi di WA soal aliran musik, lukisan post modernism, atau sastra klasik zaman Renaisance hingga Alexander Pushkin dari Rusia. Dia dapat menguasai alur dan genrenya tetapi juga akrab dengan karya ilmuwan modern seperti Albert Camus, Al Ghazali, Amartya Sen hingga Magnis Suseno, termasuk musik Sam Smith yang bertengger di play list lagu mingguan di Eropa. Diapun dapat memberi angle hal isu LGBT atau setting around reklamasi. Komplit pokoknya.
Sesuai judul di atas, yang mau saya ceritakan adalah hal kepiawiannya berdoa – martonggo – sembahyang – you name it. Kalau beliau berdoa, seolah Tuhan sang pengabul doa itu dekat dengan raihannya. Lamat-lamat, teratur dan seperti sastra andung. Belum lama ini, beliau didaulat berdoa – mengawali syukuran dilantiknya pasangan Bupati di kota Kabupaten. Sang bupati masih terbilang cucu ponakannya, adapun WaBupnya adalah seorang Pujakesuma, anak dari mitra bisnisnya berdagang bahan bangunan – annemer di zaman Malaisse
On ma (lebih kurang) preambule/ pembukaan ni tangiang/ tonggona :
Ompung Mula Jadi Na bolon, Martua Debata, Debata Sitolu Sada, sitolu harajaon sisada ulaon sisada tahi. Debata ni si Adam, Si Abarham, Si Musa, si Raja Batak,, ompu paisada, paidua,Simarimbulu Bosi sahat tu sundut naumposo. Debata Sori, Debata Partuptupan, Sisihathon uli basa tu nasa tinompana. Ho do sigomgom langit dohot tano songon i nang pangisina, silehon aek natio soburan mual mata, sipasindak panaili, sipaulak hosa loja, Debata di balian, Debata di harangan, Debata di huta di siulu balang ari. Asa mardame sonang soharibo riboan na di pangarantoan songon i nang di bona ni ture.
Hutonggo, hupio jala hupangalui hami ma Ho di habangsa habadiaonmi. Hupele hami ma ho sian solom solomanmon marhite situan na hushus, si tuan na uli patumonaan ni pandaraman. Tarlumobi ma sian serep dohot unduk ni roha nami. Asa tuat ma hamu sian habangsa langit sipitu tikka, ombun si pitu lampis, sian bintang na marjombut, sian balik ni galaxy bima sakti, sian mual situdu langit, tu gala gala napulpulan, baringin tumbur jadi, panjampalan nami, di luat Indonesia, koordinat ni bius namion. Na hot di uhum, na jagar di toguan, asa manggomgom manghorasi Ho, tu dolok tu toruan di na marmeang muli, na sintak sumunde na girgir alapan na giot suruon hami naposoM.
Ho do Debata parmahan so mantat batahi, parorot so mantat ulos, pamuro so mantat sior, na so marmula na so marujung, na hot marpatuan di habangsa sian na robi tu na naeng so robi di situmudu ni silaon na bolon.
Mula ni dungdang mula ni sahala, nasintak sumunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. Na takkas do di tanganMu siamun ganjang ni umur, di tanganMu hambirang hadumaon dohot hamuliaon.
Parsaulihon ma tua maima-ima tua mamasu masu, na gabe tohap nami di portibi si sangunjuron, sahat tu pomparannami andorang so bolas hami tu Banua ginjang sambulo ni tondinamii.
Dison tedek do sian ias ni rohanami, mamboan tu joloM amanami, uluan nami ima amanta Bupati, songon i nang Pandua na manjujung sangap nang tohonan marhite Pamarentanami. Asa sada nasida songon daion aek, unang mardua songon daion pola. Asa manimbuk rap tu ginjang, mangangkat rap tu toru. Alai sitongka ma na pasuruthon sian naung parjolo sinahaphonmi.
Ompung Debata, Sahaphon ma tu nasida Sahala raja, Sahala Panguhum na bonar dst…..
Angin sepoi sepoi membuat saya terlelap. Doa dan tonggonya tidak sempat saya ikuti sampai tuntas. Saya beruntung mengenal Oppung ini dari dekat. Ompung ini memang Partonggo Nautusan.

Jakarta, April 2016